Kenali Perbedaan KPR Syariah dan Konvensional

Kenali Perbedaan KPR Syariah dan Konvensional

KPR Syariah dan Konvensional adalah jalan pemudah bagi Anda yang ingin segera memiliki rumah. Kenali perbedaan kedua jenis KPR ini, mana yang menguntungkan!

Bagi Anda yang ingin segera memiliki rumah tetapi belum tersedia cukup dana, keberadaan KPR akan sangat membantu. Lembaga ini akan meminjamkan dana kepada Anda sebesar harga rumah utuh, lalu Anda akan mengembalikan biaya tersebut dengan mencicilnya, ditambah bunga dan biaya KPR.

Yaitu KPR Syariah dan Konvensional, dua jenis tempat peminjaman dana dan pengkreditan rumah ini memiliki beberapa perbedaan. Salah satu dari perbedaan itu adalah cara transaksi yang dilakukan, jika KPR Konvensional menerapkan sistem jual beli seperti transaksi biasa, maka KPR Syariah akan menggunakan metode akad murabahah.

KPR Syariah

Photo by Megasyariah.co.id

KPR Syariah adalah sebuah lembaga pengkreditan rumah yang memiliki sistem non-bunga atau tidak mengambil bunga sama sekali. Untuk menentukan bagiannya, pihak KPR akan menghitung dengan menggunakan sistem bagi hasil, margin, atau ujrah. KPR ini juga menggunakan akad murabahah sebagai kesepakatan mereka dengan nasabah.

Akad murabahah yaitu, KPR Syariah akan membeli rumah yang Anda inginkan, lalu menjualnya kepada Anda setelah menambahkan biaya operasional dan tambahan lainnya. Akad inilah yang membedakan dengan KPR konvensional, karena pada KPR konvensional akan memberikan pinjaman dana dalam jumlah tertentu untuk pembelian properti seperti rumah dan tanah.

KPR Konvensional

Akad
Photo by Unsplash+ on Unsplash

Sementara itu, KPR Konvensional adalah salah satu tempat peminjaman uang dimana pihak bank akan memberikan dana sejumlah harga rumah utuh. Setelah itu Anda diharuskan mengembalikan uang tersebut dengan mencicilnya. Jumlah yang dikembalikan akan ditambah bunga dan biaya KPR yang sudah ditentukan.

Perbedaan KPR Syariah & KPR Konvensional

Beberapa Resiko dan Ketentuan Setelah Mengambil Kredit Tanpa Uang Muka
Photo by Tumisu on Pixabay

Walau kedua jenis KPR ini sama-sama menawarkan bantuan terhadap seseorang yang ingin membeli rumah, terdapat beberapa perbedaan antara KPR Syariah dan Konvensional. Beberapa perbedaan tersebut akan membantu Anda mengetahui kelebihan dan kekurangan dari dua jenis penyedia dana pengkreditan rumah tersebut. Perbedaan-perbedaan tersebut antara lain:

Baca Juga:  7 Cara Mengajukan KPR Agar Mudah Disetujui Bank

1. Besaran Uang Muka

Besaran uang muka atau DP (Down Payment) minimum yang yang harus dikeluarkan oleh nasabah masih dikaji oleh BI (Bank Indonesia) bagi nasabah yang akan mengambil jalur KPR syariah agar dapat berlaku sesuai yang sudah ditetapkan pada KPR konvensional.

Uang muka adalah sejumlah uang yang harus dibayarkan di awal transaksi. Biasanya besaran uang muka sekitar 25% sampai 35% dari harga utuh sebuah rumah. Pada KPR Konvensional, besaran yang harus dibayar minimal 20%. Setelah itu akan dilakukan perjanjian atau akad sesuai hukum yang berlaku. Selain uang muka, terdapat bunga pinjaman, dan cicilan yang akan dibebankan pada Anda.

Berbeda dengan KPR Konvensional yang memungut uang muka sejumlah seperempat harga rumah utuh, pada KPR Syariah Anda hanya perlu membayarkan sebesar 10%. Dengan uang muka yang rendah tersebut, tentu akan sangat cocok bagi Anda yang masih belum memiliki cukup dana tetapi ingin segera memiliki rumah.

Namun, besarnya uang muka atau DP (down payment) yang harus dikeluarkan oleh bank syariah kemungkinan akan berbeda di setiap pembelian properti karena ada beberapa produk pembelian yang tidak dapat bisa menggunakan jumlah uang muka yang sama, misalnya pada pembelian rumah tunggal dan rumah susun atau apartemen, berbeda lagi dengan ruko (rumah toko).

2. Sumber Hukum

Pada KPR syariah sumber hukum utama yang dipakai adalah Al-Qur’an, Hadist, dan fatwa MUI (majelis ulama Indonesia). Namun, peraturan hukum syariah juga diatur dalam UU. No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan. Kemudian landasan hukum tersebut diamandemenkan dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998 dan Tahun 2008.

Undang-undang tentang perbankan syariah yaitu Undang-undang No. 21 Tahun 2008. Undang-undang tersebut digunakan untuk menjadi acuan hukum perbankan syariah di Indonesia. Selain di atas perbankan syariah juga akan taat pada peraturan yang diberlakukan oleh BI/OJK dan fatwa yang diterbitkan oleh DSN/MUI.

Lain halnya dengan KPR konvensional, Bank ini tidak mengedepankan aspek agama. Bank konvensional beroperasi secara bebas dan berdiri sendiri. Bebas artinya tidak terikat oleh nilai-nilai agama manapun yang berlaku di Indonesia seperti yang berlaku pada KPR syariah.

KPR konvensional mengoprasikan peranannya kepada nasabah dengan melakukan kegiatan apapun yang dapat mendatangkan keuntungan untuk pihak bank, selama kegiatan itu tidak melanggar undang-undang yang berlaku di Negara Indonesia, dan juga tidak melanggar ketentuan yang dikeluarkan oleh BI/OJK.

Baca Juga:  KPR BSI: Suku Bunga, Syarat dan Cara Pengajuan

3. Ada dan Tidak Adanya Bunga

Bunga sendiri merupakan sejumlah biaya yang akan ditambahkan pada total uang yang harus dibayarkan oleh nasabah. Singkatnya, bunga adalah biaya jasa yang ditetapkan KPR untuk Anda pada saat transaksi.

Untuk KPR Konvensional, tentu akan diberlakukan bunga yang mana besarannya akan mengikuti kebijakan bank atau BI rate. Sedangkan pada sistem KPR syariah tidak diberlakukan adanya bunga. Tentunya keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan.

KPR syariah tidak memberlakukan bunga, namun dengan menggunakan cara bagi hasil antara nasabah dan pihak bank. Bank akan memberikan margin yang akan dibebankan kepada nasabah, dan jumlahnya tidak akan berubah selama masa pembayaran berlangsung.

KPR Konvensional memiliki resiko yang cukup tinggi, karena suku bunga yang bisa naik turun dari waktu ke waktu akan berpengaruh pada pada cicilan KPR setiap bulan, resiko ini tentunya lebih tinggi dibandingkan dengan KPR syariah yang non bunga. Namun, nasabah yang memilih pinjaman menggunakan KPR syariah tidak akan merasakan keringanan cicilan saat suku bunga rendah.

4. Skema Jual Beli

Secara singkat, dalam KPR syariah ada dua skema akad yang bisa diterapkan, yaitu akad murabahah (jual-beli) dan Musyarakah (kepemilikan bertahap). Pada KPR konvensional dimana hubungan antara nasabah dan bank adalah pinjam meminjam, sedangkan pada KPR syariah hubungan antara nasabah dan bank adalah mitra.

Dalam akad murabahah, bank yang memberikan pinjaman akan di ibaratkan sebagai yang menjual rumah, dan nasabahnya adalah yang membeli. Artinya, bank akan membeli rumah yang menjadi pilihan nasabah, dan nantinya rumah itu akan dijual kembali kepada nasabah tersebut dengan harga yang sudah ditentukan. Sedangkan nasabah akan membayarnya dengan mencicil setiap bulannya.

Skema lain yang dimiliki bank syariah adalah adalah akad musyarakah atau dengan nama lain kepemilikan bertahap. Dalam akad musyrakah, nasabah dan bank akan dianggap sama-sama membeli rumah, misalkan nasabah memiliki modal 20 persen dari harga rumah yang diinginkan, kemudian bank akan menambahkan kekurangannya sebesar 80 persen.

5. Besarnya Cicilan yang Dibayarkan

Besarnya cicilan yang harus dibayarkan nasabah kepada bank pinjaman akan berbeda antara nasabah yang mengambil KPR konvensional dan KPR syariah, hal terkait dengan pengambilan keuntungan yang dilakukan oleh bank pinjaman.

Baca Juga:  15 Bank Penyedia Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dengan Bunga Rendah

Jika diilustrasikan pembayaran KPR syariah, misalkan seorang nasabah akan membeli rumah dengan harga Rp 500 juta. Kemudian bank syariah tersebut akan membeli rumah itu untuk kemudian menjualnya kembali kepada nasabah dengan mengambil keuntungan dari pembelian rumah itu sebesar Rp 100 juta.

Keuntungan Rp 100 juta itu akan ditambahkan dengan harga rumah, sehingga jumlah uang yang harus dicicil nasabah adalah sebesar Rp 600 juta, jumlah ini setelah dikurangi dengan uang muka yang sudah dibayarkan nasabah.

Dengan skema di atas, maka nasabah setiap bulannya akan melakukan cicilan dengan jumlah yang tertap, karena biaya yang dikeluarkan oleh nasabah sudah disepakati diawal. Hal ini berbeda dengan pinjaman KPR konvensional, dimana jumlah cicilan yang harus dibayarkan setiap bulannya akan bergantung pada suku bunga pada saat itu.

6. Lamanya Masa Cicilan (Tenor)

Lamanya masa cicilan antara KPR konvensional dan KPR syariah berbeda. Pada umumnya KPR konvensional memiliki tenggang waktu yang lebih lama dibandingkan dengan KPR syariah. KPR konvensional memberikan waktu maksimal yaitu selama 25 tahun, sedangkan pada KPR syariah hanya 15 tahun saja.

Lamanya waktu yang diberikan dipengaruhi oleh pemberlakuan bunga pinjaman. Dengan kata lain, meskipun pada KPR konvensional pemberlakuan waktu pinjaman lebih lama tetapi Bank akan tetap mendapatkan keuntungan dari nasabah.

7. Adanya Denda Sebelum Jangka Waktu Pelunasan Berakhir

Banyak bank terutama bank konvensional yang memberlakukan peraturan adanya biaya tambahan (pinalti) yang diberikan kepada nasabah yang akan melunasi pembayaran sebelum waktu yang ditentukan. Hal ini dikarenakan bank akan kehilangan keuntungan yang seharusnya mereka dapatkan dalam jangka waktu tertentu.

Sedangkan pada sistem pinjaman KPR syariah, hal ini tidak berlaku, karena besarnya jumlah pinjaman sudah disepakati di awal waktu, sehingga hal itu tidak akan mempengaruhi keuntungan yang didapatkan oleh pihak bank.

8. Sanksi Keterlambatan Pembayaran Cicilan

Sanksi keterlambatan akan dikenakan kepada nasabah yang terlambat membayarkan cicilannya setiap bulan. Besarnya denda sudah ditentukan oleh masing-masing pihak bank. Pada bank konvensional hal ini sudah umum diterapkan, namun berbeda dengan KPR syariah karena pada KPR syariah tidak ada pemberlakuan denda untuk nasabah yang terlambat melakukan cicilan.

Berdasarkan hal di atas, besarnya cicilan dan margin pada masing-masing bank tidak berbeda secara signifikan. Hal itu terjadi karena persaingan antara KPR Konvensional dan Syariah sangat ketat.

Related Articles

Bagikan:

Tags